Malin merupakan pemuda yang sangat baik dan bisa menghargai teman
apalagi kaum hawa. Namun sifat baik tak selamanya dihargai manusia di
zaman sekarang ini. Hidup materialistis telah membutakan mata hati
sebagian orang di zaman ini. Setidaknya itulah yang dirasakan Malin yang
kebetulan teman penulis.
Hanya karena belum punya pekerjaan tetap, cinta yang telah lama
dirajut, kandas diterjang ombak kehidupan. Masih segar dalam ingatan
Malin, akan keindahan sebuah cinta yang terjalin dengan seorang dara,
sebut saja bernama Rena.
Hari-hari mereka lalui, bak dunia milik berdua nyaris tanpa
permasalahan “Uda…Rena sungguh beruntung mendapatkan laki-laki seperti
Uda yang sangat baik dan penuh pengertian.” Kata Rena setengah merayu.
“Uda pun merasa beruntung mendapatkan wanita seperti Rena. Sudah
cantik wajahnya, keibuan lagi..” Balas Malin tak kalah romantisnya.
Setelah berjalan beberapa tahun dan berbagai masalah pun dapat mereka
atasi bersama. Sepanjang jalan, akhirnya sampailah kami pada gerbang
petaka yang mampu merobek jaring cinta yang selama ini kami rajut dengan
benang kasih sayang dengan renda saling percaya.
Orang tua Rena yang selama ini baik, tiba-tiba sangat membenci Malin.
Karena mengetahui kalau Malin belu mapam kehidupannya alias
pengangguran. Rena yang tidak tahu apa-apa ikut menanggung akibatnya.
Tanpa sepengetahuan Rena, mamanya telah menemui salah seorang dukun.
Melalui perantara dukun ini, pikiran Rena dicuci sehingga ia lupa akan
diri Malin, orang yang selama ini sangat dicintainya.
Karena sedikian lama tidak bertemu, rasa rindu dan kangen pun
berkecamuk dalam dada Malin. Rasa rindu yang begitu mendalam tidak dapat
lagi ditahan Malin. Dengan keberanian yang dimilikinya, Malin pun
mendatangi kediaman Rena sekedar melepaskan rasa rindu yang selama ini
telah menyiksa perasaannya.
“Heh…Malin! Anak saya tidak mencintai kamu…kenapa masih berani datang
ke sini! Apa kamu sudah gila…” kata orang tua Rena dengan angkuhnya.
Sungguh panas rasa hati Malin mendapatkan kata-kata yang begitu
menghina dirinya. Malin yang selama ini baik dan penyabar, tidak dapat
menerima perkataan yang dilontarkan orang tua Rena. Ibarat kata pepatah
“sudah luka…disiram air garam pula”.
“Dia telah mengatakan gila. Oleh karena itu, ia harus bermenantukan orang gila ini!” kata Malin membantin.
Tidak ada kayu jenjang di keeping, tidak ada rotan akar pun jadi.
Setidaknyanya pribahasa inilah yang terpatri di hati Malin. Berangkat
dari rasa sakit hati, Malin menemui seorang rekannya, sebut saja bernama
Bahar. Melalui petunjuk Bahar, Malin mulai ritual yang dianggapnya
mampu mengembalikan sang pujaan hatinya.
Ritual yang dimulai dengan memasukan garam yang telah diberi mantera
kedalam mulut ayam yang sedang mengerami telurnya. Setelah itu, Malin di
suruh mencabut bulu liar ayam tersebut. Ini dimaksudkan mencabut sifat
Rena yang telah berani melupakannya.
Setelah beberapa hari ritual yang dilakukannya pun selesai. Namun
setelah dua puluh satu hari dimana batas waktu yang ditentukan belum
juga ada tanda-tanda kalau Rena akan menemui saya. Sadar ritual yang
dijalaninya gagal, Malin pun bertandang ke rumah penulis.
Saya yang merasa kasihan, mencoba menghibur dan memberikan pandangan terhadap Malin.
“Jujur, saya sangat kehilangan dan tiap malam selalu teringat Rena. Tolonglah…bantu saya.” Harap Malin kala itu.
Karena Malin tampaknya telah bulat tekadnya, sayapun mengantar Malin
kepada salah seorang teman yang mengerti akan ilmu gaib. Oleh teman saya
yang bernama Rajo Intan, Malin disuruh menyediakan minyak misik, limau
purut dan benang tujuh ragam.
Dengan media beda tersebut, Rajo Intan mulai melakukan ritual
penarikan sukma Rena agar kembali mencintai Malin. Setelah di rituali,
sebagian benda tersebut disuruh di tanam dimana Rena akan lewat.
Sebagian lagi di suruh ditanam di persimpangan yang banyak dilalui
orang.
Kali ini, Malin pun melakukan apa yang disuruh Rajo Intan demi
kembalinya sang kekasih yang begitu dicintainya. Setelah beberapa hari,
Malin pun kembali terbentur pada tembok kegagalan.
“Lin, bukan saya beralasan. Tapi Rena telah dipagari oleh orang
tuanya. Rasanya sulit ditembus oleh satu orang.” Kata Rajo Intan sedikit
memberi pengertian terhadap Malin.
“Lantas? Jalan apa yang harus dilakukan?” Kata Malin dengan penuh harapan.
“Uda nanti akan coba meminta bantuan pada guru Uda yang di Solok.
Agar lebih mudah membobol pagar gaib yang dipasang ditubuh Rena,” jawab
Rajo Intan memberi sedikit harapan pada Malin.
Dua hari berikutnya, Malin di suruh Rajo Intan ke Cupak yang terletak
di daerah Solok untuk menemui salah seorang guru Rajo Intan, sebut saja
bernama Rajo Sati. Rajo Sati pun mulai melakukan berbagai ritual untuk
mengembalikan Rena kepangkuan Malin dan selain itu Malin pun diberi
sebuah zimat untuk pagar diri kalau ada serangan balik dari pihak orang
tua Rena.
Entah sudah berapa uang dan waktu yang dihabiskan Malin hanya untuk
sebuah kata yakni CINTA. Tanpa terasa, waktu yang di tentukan Rajo Sati
pun sampai. Namun sejauh ini tidak juga ada tanda-tanda kalau Rena akan
menemui Malin. Ini sungguh sebuah pukulan yang telak mengenai hati
sanubari Malin, sehingga sempat membuat Malin seperti kapal tanpa
haluan.
Sungguh berat penderitaan batin yang dialami oleh Malin.
Sampai-sampai sempat terlintas dalam pikirannya, kalau hidup ini tak
berarti lagi. Penulis yang paham kondisi Malin, mencoba memberi semangat
dan saran agar jangan sampai patah arang. Sehingga berujung ke jalan
yang dilarang agama.
Untung kata-kata penulis didengarkan oleh Malin sehingga bisa membuat
penulis sedikit lega. Suasana ini berlangsung satu bulan lebih lamanya
dimana wajah Rena tidak lagi menari di pelupuk mata malin.
Sayang, suasana yang kondusif ini kembali mengalami goncangan yang
hebat. Setelah mendengarkan hasutan dari salah seorang teman Malin.
“Lin, kok mau saja melupakan Rena. Dia kan telah menyakitimu. Seharusnya
kamu itu bisa membuat dia bertekuk lutut dihadapanmu!” Kata teman Malin
di kala itu.
Kata-kata dari teman Malin ini sungguh sangat luar biasa. Malin yang
mulai melupakan Rena, kembali menjadi haus akan cinta seorang gadis
yakni Rena. Namun sebelum melangkah, kembali Malin menemui penulis,
untuk bertukar pikiran akan masalah yang dihadapinya.
Waktu bertandang inilah, tanpa sengaja Malin melihat tumpukan Majalah
di rak buku penulis. Majalah yang tak lain yakni Majalah Misteri yang
menjadi bacaan penulis dikala waktu senggang.
Saat membolak-balik majalah ini, Malin tertarik dengan salah seorang
paranormal yang mengiklankan ilmu pengasihnya. Demi menjaga privasi
paranormal dimaksud, sengaja namanya tidak penulis tulis.
Penulis yang sadar akan sebuah bahasa iklan mencoba menasehati Malin
agar jangan termakan bahasa iklan yang banyak dibumbui fatamorgana.
Sayang, tanpa sepengetahuan penulis, Malin melaksanakan niatnya dan
menghubungi paranormal yang dimaksud.
Paranormal tersebut menyarankan agar menggunakan Aji Puter Giling
untuk menarik kembali sukma Rena. Ilmu yang telah dipindahkan pada
selembar kain merah berbentuk rajahan ditambah dengan sebuah keris kecil
sebagai penajamnya. Melalui petunjuk paranormal tersebut, Malin pun
mulai melakukan ritual yang diberikan oleh paranormal dimaksud.
Ritual yang dimulai dengan memasukkan foto Malin dan Rena, kemudian
keris kecil tersebut dibungkus dengan kain rajahan Aji Puter Giling.
Setelah dibungkus, baru ditanam ke dalam tanah dan ritual pun selesai.
Setelah dua minggu berjalan tidak juga ada tanda-tanda kalau ritual
yang telah dijalankan akan berhasil. Karena penasaran, Malin pun
menghubungi paranormal melalui telepon.
“Pak. Saya telah melakukan semua petunjuk yang bapak berikan, namun
sampai saat ini tidak juga ada tanda-tanda kalau Rena akan menemui
saya.” Kata Malin menyampaikan keluhannya.
“Tenang saja. Nanti kalau mencapai empat puluh hari, pasti ia akan menemui kamu.” Jawab seseorang di seberang sana.
Namun, sayang seribu sayang, kali ini pun Malin kembali menelan pil
kegagalan yang sangat pahit dan menyesakan dada. Dengan beruntunnya
kegagalan demi kegagalan, membuat Malin sadar akan sebuah takdir dan
jodoh yang tidak dapat dipaksakan.
Sekalipun segala upaya telah dilakukan kalau belum jodoh, tetap saja
terbentur pada tembok yang sangat kuat dan kokoh. Dan hanya segelintir
orang saja yang berhasil memaksakan kemauannya. Itupun kalau lagi mujur
dan dikabulkan oleh sang Pencipta Alam Semesta.
Mari kita bersikap realistis dan jangan menentang takdir. Sebab
segala sesuatu yang dipaksakan juga tidak baik jadinya. Semoga tulisan
ini dapat dijadkan pelajaran seperti kata pepatah di Minang, “Alam
terkembang akan menjadi guru.”